Tulisan kali ini ngga disponsori kampanye apa-apa kok, bukan buat ikutan lomba nulis essay apapun. Ini curahan hati aku sebagai mahasiswi Koas Kedokteran Gigi di sekolah per-gigi-an terbaikse Indonesia (Kata salah seorang teman dari Malaysia ketika ditanya "Kenapa kamu kuliah disini?") :')
Jadi, gejolak di hati (cie) mulai memuncak ketika salah satu teman sekelompok Koas mendapat SMS Super horor. Bukan dari penipuan mama minta pulsa, atau dapet hadiah dengan cara mengkontak nomor yang disebutkan. Bukan. Tapi SMS yang isinya bahwa si pasien ngga lagi bisa melanjutkan perawatan. Sumpah, bagi kami, SMS yang isinya kaya begini lebih horor dari SMS teror manapun. Ketika pasien ngga bisa melanjutkan perawatan, alternatifnya adalah memohon-mohon ke pasien, atau cari pasien baru yang artinya memulai seluruh perawatan dari awal.
Dengan berat hati karena ngga bisa memaksa, teman aku cuma bisa membalas dengan, "Yasudah bu, kalau memang tidak bisa dilanjutkan. Tapi saya tetap harus menyelesaikan tanggung jawab perawatan saya ke adek A. Ngga etis kalau perawatannya berhenti di tengah jalan, untuk menghindari efek perawatan yang ngga selesai." Si ibu pun akhirnya mau satu kali lagi mendatangkan anaknya untuk melanjutkan perawatan terakhir. Kebetulan pasien tadi adalah pasien stase Pedodonsia (Kesehatan Gigi Anak) yang sedang dalam perawatan tambal. Giginya sudah dibersihkan dari jaringan-jaringan tidak sehat, tapi belum sempat ditambal, sudah menyatakan ngga bisa datang lagi. Sebagai yang mengerti medis, kami tentu aja ngga bisa ngelepas tanggung jawab dengan menghentikan perawatan. Tentu aja, kami harus pastikan gigi itu ngga apa-apa setelah dirawat (yang ngga selesai).
Sebenarnya, yang bikin kami ngga rela melepas pasien tersebut adalah......... ternyata orang tuanya telah dihasut oleh beberapa oknum ngga bertanggung jawab yang ada di luar Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) supaya mau jadi salah satu pasien yang dikordinir oleh oknum tersebut. Sebut saja istilahnya: Calo. Iya, Calo. Orang-orang yang berkeliaran menawarkan bantuan kaya kalo kita mau ngurus KTP, SIM, dan surat-surat administrasi lainnya yang kadang-kadang ngurusnya aja setengah mati susahnya, ribetnya. Orang-orang yang menawarkan bantuan tidak dengan cuma-cuma. You know lah, ujung-ujungnya selalu duit. Di Indonesia, ketika kita mau kemudahan, kelancaran, duit salah satu solusinya. Yang ngga setuju boleh mangkat ke Negara Lain.
Calo di RSGM bukan hal yang baru lagi. Dimana ketika kami para koas butuh pasien untuk segera menyelesaikan requirement klinik dan lulus, mereka membantu mencarikan pasien, menawarkan orang-orang yang butuh perawatan. Atau mungkin harus aku luruskan, butuh uang. Dengan iming-iming kalau datang ke RSGM untuk dirawat akan diberikan uang, banyaaak banget orang-orang yang mau datang untuk dirawat. Harga yang dipasang untuk minta tolong si calo inipun ngga murah. Satu gigi dari satu pasien terakhir aku tau dihargai Rp 250.000,- kemudian kita masih harus membayar ke pasien tersebut uang transportasi tiap dia datang ke RSGM yang udah diatur Rp 50.000,- per datang. Bisa bayangin berapa yang harus dikeluarkan si pelanggan calo untuk pasien gigi palsu yang butuh banyak kali datang?
Sebagai orang yang sebisa mungkin ngga pake jasa calo, karena ngga tega minta uang buat bayar dan pasti ngga dibolehin juga sama orangtua, aku termasuk yang bener-bener sedih liat fenomena ini. Orang-orang yang datang berobat di RSGM lewat si calo tujuannya bukan mendapatkan perawatan, tapi uang. Beberapa pasien yang datang sendiri karena butuh perawatanpun juga jadi sasaran si calo, yang diiming-imingi akan dapat uang kalau mereka datang ke RSGM lewat si calo. Udah gitu banyak pula yang berminat.
Perawatan gigi di RSGM menurut aku udah termasuk murah banget, apalagi semua prosedurnya diawasi oleh Dosen yang notabene Dokter Gigi Spesialis yang selalu update ilmu pengetahuan tentang perawatan terbaru. Kalau tambal gigi di klinik dokter gigi umum dan Rumah Sakit, biayanya bisa mencapai Rp 300.000 per-gigi. Sedangkan di RSGM? Cuma bayar Rp 40.000 aja gigi kalian yang berlubang udah bisa terawat. Walaupun begitu, pasien RSGM tetap sepi. Kalau tampak banyak, ya.. sebagian besar adalah pasien yang dibawa calo, yang datang untuk dapat uang. Untuk Koas Gigi yang bisa membayar calo untuk mendapatkan pasien, tentu saja bisa lulus lebih cepat dari yang ngga punya pasien. Jadi, apa istilahnya orang yang ngga punya ngga bisa lulus cepat? Gitu?
Kami para Koas Gigi yang berusaha ngga pakai jasa calo biasanya cari pasien bareng-bareng sampai masuk ke gang-gang kecil. Menawarkan perawatan. Mulai dari melakukan pemeriksaan gigi gratis di sekolah-sekolah, sampai keliling jalanan bawa kartu nama siang-siang. Hanya untuk cari orang yang butuh perawatan dan bisa kami bantu. Seringkali kami para Koas Gigi dipandang sebelah mata hanya karena kami "belum dokter". Beberapa orang yang kami temui menanyakan hal-hal yang sumpah ini bikin sedih banget banget seperti "Ini dibuat praktek ya, mba?" "Ini yang nanganin mahasiswa ya, mba? Bukan dokternya?" "Em.. ngga berani deh kalo bukan dokter yang mengerjakan.". Bahkan salah satu sahabatku sendiri ada yang ngga mau dirawat, kalau bukan dokter yang merawat. Sedih.
Biasanya kalau bawa pasien sendiri ke RSGM untuk dikerjakan, sebagian besar Koas Gigi bahkan menggratiskan perawatan, sebagai ungkapan terima kasih sudah mau dirawat giginya. Aku dan teman-teman pun yang cari pasien lewat socmed kadang-kadang kalau ditanyain "Perawatannya gratis?" kami langsung mengiyakan. Karena kami memang butuh :") Perawatan gratis yang dimaksud disini ngga semerta-merta free of charge. Kami para Koas Gigi lah yang membantu pembiayaan pasien-pasien. Kadang-kadang pun kalau ada pasien yang datang sendiri ke RSGM dan merasa keberatan dengan biaya, kami bersedia membantu semampu kami.
Balik lagi ke cerita pasien teman yang ditikung calo, orang tua si pasien bilang kalau anaknya ngga bisa lagi jadi pasien temanku, dan mau datang lagi sebagai pasien kalau lewat si ibu calo. Tanpa sungkan-sungkan, orang tua pasien temen bilang begini: Katanya kalau dirawat lewat ibu X dapet uang 50.000, mba.
Temanku tadi dapet pasien itu hasil cari ke gang-gang, yang tiap datang dibantu dengan uang transport yang memang ngga Rp 50.000,- sih, akhirnya diperlakukan kaya begitu. Pasiennya ditikung sama calo, yang dengan hebatnya menawarkan uang Rp 50.000 tiap kali datang. Nyesek banget ngelihat mental orang-orang disekitar kita rendah banget. Aku berani bilang begitu. Akhirnya temanku tadi menyelesaikan tanggung jawab dia yang terakhir ke pasiennya. Dan lebih sedih lagi, ketika pasiennya selesai dirawat, si pasien yang notabene masih anak kecil, umur 5 tahun, udah bisa nanya, "Kak, nanti ini dapet uang 50.000 ya?"
Aku denger langsung si anak bilang begitu, karena waktu itu nemenin temen merawat. Seketika badan langsung lemes. Anak kecil, bisa bilang begitu. Bisa menyimpulkan kalau dirawat itu menghasilkan uang. Dirawat lho ya, dirawat. Yang seharusnya dirawat itu mendapatkan perawatan dan menghilangkan keluhan kesehatan, ini sudah berubah sistemnya menjadi kalau dirawat mendapat uang. Apalagi ini anak kecil yang ngomong gitu. Bisa-bisanya si orang tuanya bilang ke anaknya kalau bakal dapet duit.
Inilah.. mental yang harus direvolusi.
Kalau ada yang tanya, apa dari pihak RSGM sendiri ngga mengetahui adanya calo-calo ini? Jawabannya mereka tahu. Tapi sebagian besar menutup mata, hati, telinganya.
Pernah suatu ketika aku ada kesempatan ngobrol dengan beberapa dosen di RSGM, sambil sedikit mengeluh soal kasus-kasus yang belum diselesaikan, dan juga calo. Salah satu dosen yang waktu itu ngobrol bareng kebetulan adalah Penanggung Jawab Departemen yang meng-haramkan perawatan pasien calo ketika di Stase nya. Dengan segala pertimbangan bahwa pasien calo itu ngga jelas. Pasien-pasien calo kadang-kadang memalsukan identitas dan riwayat kesehatan saat dibagian triage, sehingga bisa lebih cepat masuk ke UPF untuk perawatan. Yang berbahaya adalah, beberapa pasien calo yang suspect HIV/AIDS bisa lolos sampai ke UPF untuk ditangani oleh Koas Gigi. Apalagi di beberapa stase departemen, ada perawatan yang memang banyak menyangkut perdarahan, seperti cabut dan membersihkan karang gigi. Bisa dibayangkan bagaimana jika pasien calo yang ternyata infeksius itu lolos dari triage (garda depan pemeriksaan umum) dan sampai ke UPF untuk ditangani?
Sudah bayar, membayari, resiko terinfeksi tinggi.
Hanya KOAS GIGI di Indonesia, yang bekerja tanpa digaji, tapi justru mengeluarkan uang.
Dosen yang menentang calo tadi mengatakan kalau pernah mengutarakan pendapat soal pasien calo di rapat besar, tapi karena hanya beliau sendiri yang berpendapat demikian, beliau malah dicerca. Beliau malah dikatakan menghambat mahasiswa, ngga memudahkan. Sikap beliau yang berniat baik melindungi mahasiswa malah ditentang, dengan alasan "Yang penting mahasiswa cepat lulus, entah gimana caranya dapat pasien."
Ada dua departemen yang mengharamkan penggunaan pasien calo di klinik, dan aku bener-bener menghormati dosen-dosen tersebut. Bahkan, salah satu departemen nya, ngga ngebolehin kita untuk membayar perawatannya si pasien. Alasannya adalah untuk ngga membiasakan mereka mendapatkan perawatan gratis atau menerima uang setelah perawatan. Aku kenal dua dosen tersebut, dan pernah ngobrol soal ini. Mereka bener-bener keren. Di saat yang lain ngga mau tau gimana caranya mahasiswa bisa lulus, mereka peduli. Ngga perlu semuanya, tapi ada beberapa aja yang berpikiran sama kaya aku, rasanya masih bisa lah bertahan di Indonesia ini.
Mental orang Indonesia ini perlu direvolusi banget. Semua.
Uang, adalah puncak tertinggi di Indonesia. Semua berlomba-lomba meraihnya. Gimanapun caranya. Ngga munafik, aku juga butuh uang, dan akan bekerja untuk dapat uang, tapi ngga dengan cara seperti ini.
Menghalalkan yang salah, mencela yang benar. Gimana Indonesia mau maju? Orang lampu merah yang sepele aja masih diterobos, trotoar masih aja dipake motor buat nyalip. Siswa yang melaporkan adanya kunci jawaban yang bocor dikucilkan, dimusuhi. Goblok. Salah siapa? Yang bodoh siapa? Kalau sudah gitu, yang marah-marah di Socmed siapa? Yang berkeluh kesah saling menyalahkan siapa? Ga paham lagi sama orang-orang yang mentalnya kaya gini.
Calo-calo itu ngga mungkin bertahan juga kalau ngga banyak koas gigi yang butuh. Koas-koas gigi yang punya lebih uang dan udah putus asa banget cari pasien, terpaksa pesan pasien lewat calo. Dosen-dosen pun menghalal kan calo, tujuannya biar mahasiswa cepat lulus. Paling kaget adalah ketika salah satu ada yang nanya, "Sampe kapan kamu bertahan ngga pakai calo?" *ini seriusan*
Kalau mau su'udzon sedikit, kehadiran calo-calo ini jangan-jangan ada hubungannya sama......?
Menurut aku sih, promosi kesehatan di Indonesia ini masih kurang banget. Penyuluhan-penyuluhan kesehatan yang kami lakukan ke sekolah-sekolah seakan-akan ngga ada artinya karena sampai di rumahpun ngga dipraktekan. Minat anak-anak sekolah masih kurang, itu terlihat jelas banget waktu aku KKN dan PKL.Tanpa iming-iming, mana ada masyarakat yang mau berpartisipasi. Dulu juga sempat punya program PKM ke komunitas anak jalanan, yang ujungnya penyuluhan kami ngga terlalu sukses. Alasan dari beberapa orang sih karena mereka ngga terlalu membutuhkan, makanya minatnya rendah. Terus butuhnya apa, pak? bu? Uang? :)
Miris juga liat teman sejawat di Kedokteran Umum yang sekarang harus menempuh pendidikan DLP setelah mereka Internship :') termasuk adik saya yang sedang berjuang di sekolah Kedokteran yang perjalanannya masih sangat panjang. Setelah lulus, ujungnya dokter umum diwajibkan ikut program BPJS yang banyak banget manipulasi dan proyek-proyek gelapnya. Kenapa ngga rumah sakit-rumah sakit pendidikan kaya RSGM gini yang kedapetan pasien BPJS? Selain bisa membantu masyarakat dengan modal yang ngga besar dan mengorbankan petugas-petugas kesehatan, kami Koas Gigi juga beruntung karena dapet pasien banyak. Ngga tau deh pernah kepikiran ngga ya kaya gini?
Masyarakat ditawari BPJS supaya berobat di dokter dalam negeri. Sedangkan pejabat-pejabat di Pemerintahan? Pada berlomba-lomba check up kesehatan dan berobat di Negera Lain. Maksude opo?
Menurut aku sih, promosi kesehatan di Indonesia ini masih kurang banget. Penyuluhan-penyuluhan kesehatan yang kami lakukan ke sekolah-sekolah seakan-akan ngga ada artinya karena sampai di rumahpun ngga dipraktekan. Minat anak-anak sekolah masih kurang, itu terlihat jelas banget waktu aku KKN dan PKL.Tanpa iming-iming, mana ada masyarakat yang mau berpartisipasi. Dulu juga sempat punya program PKM ke komunitas anak jalanan, yang ujungnya penyuluhan kami ngga terlalu sukses. Alasan dari beberapa orang sih karena mereka ngga terlalu membutuhkan, makanya minatnya rendah. Terus butuhnya apa, pak? bu? Uang? :)
Miris juga liat teman sejawat di Kedokteran Umum yang sekarang harus menempuh pendidikan DLP setelah mereka Internship :') termasuk adik saya yang sedang berjuang di sekolah Kedokteran yang perjalanannya masih sangat panjang. Setelah lulus, ujungnya dokter umum diwajibkan ikut program BPJS yang banyak banget manipulasi dan proyek-proyek gelapnya. Kenapa ngga rumah sakit-rumah sakit pendidikan kaya RSGM gini yang kedapetan pasien BPJS? Selain bisa membantu masyarakat dengan modal yang ngga besar dan mengorbankan petugas-petugas kesehatan, kami Koas Gigi juga beruntung karena dapet pasien banyak. Ngga tau deh pernah kepikiran ngga ya kaya gini?
Masyarakat ditawari BPJS supaya berobat di dokter dalam negeri. Sedangkan pejabat-pejabat di Pemerintahan? Pada berlomba-lomba check up kesehatan dan berobat di Negera Lain. Maksude opo?
Begitulah curhatan hati kami Koas Gigi.
Maaf ya tulisannya panjang. Waktu nulis sambil geregetan sendiri, banyak banget yang mau ditambahin sebenernya. Saking banyaknya sampai bingung mana yang pantas ditulis disini. Semoga tulisan ini ngga menyebabkan masalah apa-apa ya :") Semoga juga aku dan teman-teman lain yang masih berjuang sebagai KOAS GIGI di Indonesia bisa cepet lulus dan bisa bermanfaat nantinya di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar