another blogger

Sabtu, 20 Oktober 2012

Ayah tampak gelisah. Tidak bisa duduk tenang di kursinya. Alisnya mengkerut di bagian tengah, menandakan bahwa banyak hal berkecamuk dalam benaknya. Sedari tadi ayah hanya berjalan kesana kemari, menggerakan tangannya. Aku berusaha menenangkannya. Ayah berkata bahwa ia tidak gelisah, ia hanya ingin bergerak karena badannya sedang kaku. Aku tersenyum simpul. Ibu yang segera mengelus pundak ayah, kemudian menuntunnya duduk. Perlahan ayah mulai tenang.

Berbeda dengan ibu yang tampak tenang, meski wajahnya juga sembab. Kalau ibu juga panik, mungkin ayah akan benar-benar membatalkan semua ini. Harus ada penenang untuk si tukang panik. Ayah memang sangat perasa, tapi kali ini berbeda. Di saat seperti ini pun, ia seperti berusaha keras menahan diri.

"Ibu, ayah, Rina, bagaimana?" kakak datang dengan setelan kebaya cantik melekat di badannya. Aku pangling, kakak bertransformasi dari cantik menjadi sangat cantik. Aku mengacungkan jempolku ke arahnya yang dibalas dengan cubitan di pipiku. Ia lalu berjalan ke arah ayah dan ibu dengan susah payah. Hak tinggi yang dikenakannya membuatnya tidak nyaman. Aku tahu persis kakak lebih suka memakai sepatu tanpa hak.

"Kamu cantik," kata ibu sambil membelai pipi putri sulungnya itu. Ayah yang sedari tadi gelisah, kini menarik napas panjang. Kemudian tersenyum. Karena riasannya belum sepenuhnya selesai, kakak kembali ke kamar rias untuk dipercantik kembali.

"Tidak apa-apa, ayah. Tenang saja." ibu kembali mengelus pundak ayah.
"Haah... apa aku harus merasakan perasaan seperti ini lagi ketika giliran Rina..." katanya sambil menghela napas panjang sekali lagi. "Inilah beratnya punya dua anak gadis," Aku memeluk ayah.

1 komentar: