"Selamat ulang tahun, Adisa! Apa kejutan tahun ini sudah sampai? :)"
Aku hanya tersenyum membaca sms dari sahabatku. Kalau yang Rena maksud adalah sebuah email beserta e-card polos yang dikirim oleh orang itu dari Eropa, iya, aku sudah menerimanya. Barusan saja. Padahal kuharap pesan itu akan menjadi yang pertama. Rupanya tidak, ya? Aku tahu, perbedaan waktu. Aku tidak bisa seperti anak kecil. Aku tahu kok, aku mengerti.
Tidak lama ponselku bergetar kembali, berkali-kali. Pesan-pesan masuk banyak yang mengucapkan selamat ulang tahun, tetapi ada juga yang menawariku untuk menjadi agen pulsa. Hari ini usiaku 19 tahun. Bukan usia yang spesial sih, jika dibandingkan dengan 17 dan 18. Tujuh belas tahun, dimana kamu resmi menyandang selempang bertuliskan dewasa dan akan merayakan pesta gaul. Sedangkan delapan belas, kamu sudah diperbolehkan untuk menikah, kalau aku tidak salah. Seperti usiaku, hari ini pun tidak ada yang spesial.
Sekarang hari Senin, yang artinya aku akan merayakan ulang tahun bersama keluarga saat weekend, saat ayah dan ibu tidak sedang bekerja. Mereka memang membiarkanku menghabiskan hari ulang tahun bersama teman-teman, toh setiap hari aku sudah merayakan hari-hari menyenangkan bersama ayah dan ibu, kehilangan satu hari pun tidak masalah. Selain merayakan usia baruku dengan Rena, lima tahun terakhir aku merayakannya bersama Dio. Orang usil dan menyebalkan, yang sekarang meninggalkan pacarnya yang sedang berulang tahun untuk mengikuti sebuah kompetisi di Paris. Dan akan pulang besok malam, katanya.
Minggu lalu, aku sudah menyebutkan barang-barang yang kuinginkan sebagai kado ulang tahun pada Dio. Dia hanya menanggapi dengan heran, "Kamu mau minta kado atau ngerampok sih?" Dari ribuan barang yang kusebutkan tadi, sebenarnya hanya ada satu yang benar-benar kuinginkan. Aku tahu itu mustahil, dan aku tidak berharap ia benar-benar membatalkan keikutsertaannya dalam kompetisi itu. Aku ingin dia ada di sampingku hari ini.
Kau tahu, Dio memang bukan orang yang romantis. Bahkan untuk sekedar memujiku saja, kami harus memulai adu mulut terlebih dahulu. Sikapnya yang cuek kadang-kadang membuatku kesal. Aku pernah membaca dalam sebuah buku, bahwa jangan menyalahkan laki-laki yang cuek dan tidak peka. Kalau sudah tahu mereka seperti itu, kenapa kamu tidak katakan saja apa yang kamu mau? Baiklah, teorinya memang seperti itu. Tapi, bagaimana jika Dio benar-benar tidak berangkat ke Paris?
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dalam beberapa jam, hari akan berganti, dan ulang tahunku akan berakhir. Aku tidak sabar menunggu besok, menunggu Dio pulang. Tapi aku juga tidak ingin hari ini berakhir begitu saja. Apakah tahun ini aku hanya mendapat e-card? Bukan, aku tidak mengharapkan jam tangan furla atau tas merek kickers yang kuinginkan. Tapi....
"Lagi ngapain? Pasti galau ya."
Rasanya aku ingin membanting laptopku. Setelah seharian kami tidak mengobrol karena Dio sedang sibuk dengan lombanya, akhirnya kami chat lewat messenger. "Rahasia. Udah selesai lombanya?"
Dio bercerita bagaimana dia dan timnya harus presentasi di acara internasional itu, bagaimana mereka grogi dan gugup, bahkan sempat salah bicara. Mereka menjadi tim favorit, karena paling aktif berpartisipasi dalam acara tersebut. Sudah kuduga, Dio yang selalu ingin tahu itu pasti banyak bertanya. Kami mengobrol lama sekali, tetapi tidak sekalipun ia membahas tentang ulang tahunku.
Belakangan, kami memang sedang tidak seperti biasanya. Kami jarang bertemu, juga mengirimi sms satu sama lain. Dia terlalu sibuk dengan kegiatannya, sedangkan aku disini sibuk mengurusi rasa rinduku. Tidak ada inisiatifnya untuk menghubungiku duluan. Awalnya aku maklum. Sampai ketika dia baru memberitahuku akan pergi ke Paris H-5 sebelum keberangkatannya, aku merasa bukan orang yang penting untuknya. Bukan maksudnya untuk memutuskan hubungan denganku, kurasa. Ia hanya sibuk dan butuh waktu untuk melakukan apa yang ia mau. Akulah yang tidak tahan. Mungkin memang perasaanku berat sebelah.
"Disini dingin lho, banyak salju."
"Kesukaanmu kan? Banyak salju. Kalau seminggu lagi kamu masih disana, mungkin nggak bakal mau pulang." aku mengutuk diriku sendiri karena mengetik hal seperti itu. Aku agak menyesalinya, kenapa? Aku sendiri juga tidak tahu. Aku hanya merasa tidak seharusnya begitu. Bagaimana jika ia memutuskan untuk menetap disana?
"Iya." agak lama, kemudian ia mengirimkan pesan lagi, "...seru pasti, seminggu disini sama kamu dan salju."
Air mataku menetes. Tidak pernah sebelumnya aku menangis seperti ini. Aku benar-benar merindukannya.
"Dis? Ketiduran ya?"
"Enggak kok, tadi bantalku jatuh." alasan apa itu.
"Ooh.. Dis, coba liat deh, disana bintangnya sebagus disini nggak?"
Aku menengok ke arah jendela, membuka tirai dan mencoba mencari bintang di langit. Ngomong-ngomong, disana kan sudah jam tujuh pagi, mana mungkin ada bintang.
"Noleh bawah deh, ada bintang juga."
Dari semua kejutan-kejutan yang kupikir akan diberikannya, aku tidak terpikirkan kejutan macam ini. Dio berdiri di depan mobilnya sambil membawa sebuah boneka beruang besar dan ponselnya di tangan. Tanpa membalas chat terakhirnya, aku berlari keluar kamar dan menuruni tangga menuju ke arah pagar.
"Selamat ulang tahun Adisa. Sekarang belum ganti hari, kan?"
Sudah sampai, Rena, kejutan tahun ini sudah sampai. Ketika kita bingung memikirkan sebuah perasaan cemas dan tidak nyaman dalam hati, tidak perlu gusar, karena jawabannya akan datang sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar