another blogger

Senin, 27 Juni 2016

1

"Bagaimana menurutmu?"
Tanya gadis kecil berambut panjang yang sedang diikat buntut kuda di depanku. Sedari tadi bola matanya terus bergerak kesana kemari, seolah berpikir keras. Alisnya mengkerut, dahinya mengernyit. Selalu seperti itu ketika dia sedang resah. Dan harus kuakui, memang selalu seperti itu lah dia, meresahkan hal yang tidak perlu. "Apa aku kurang cantik? Kurang menarik?" katanya sambil menghentakkan kaki di tanah, memainkan bebatuan di depan kakinya.

"Bisa jadi sih," aku menimpali sebisaku, "Banyak yang lebih oke,"
Mendengar kalimat barusan, kerutan di dahinya semakin tampak jelas, bibirnya maju ke depan. Mulai menggerutu kecil. Biasanya ketika sedang dalam fase ini, dia akan memukuliku dan berkata bahwa aku adalah temannya sejak kecil yang paling jahat, paling tega. Dia menoleh ke arahku, tangannya sudah bergerak. Aku langsung memasang posisi siaga, siap menahan pukulannya. Dua detik, tiga detik, aku menghitung sambil memejamkan mata hingga sepuluh detik, namun pukulan yang biasanya selalu terasa sakit itu tidak segera mendarat di anggota badanku. Apa dia menunggu aku lengah?

Kulihat dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya ketika aku membuka mata. Wajahnya memerah, terlihat dari sela-sela tangannya yang kecil. Samar-samar terdengar suara napas yang tersenggak. Dia... menangis?

"Hey.. hey.. hey.. kenapa malah nangis sih?"
Tidak menjawab, hanya terus mendekap wajahnya semakin erat. Suara tangisannya kini tidak terdengar samar lagi. "Ini tempat umum, yang benar aja?! Jangan nangis dong, nanti dikira aku yang bikin kamu nangis.." aku gelagapan, bingung harus bagaimana untuk menghentikan tangisnya. Karena tidak bisa memikirkan cara lain, aku segera menarik kepalanya untuk bersandar di bahuku, dengan telapak tanganku menutupi matanya.

"Kenapa ngga pernah berhasil sih?" tanyanya sambil terisak. "Aku.... aku sudah lakukan yang dia mau... Jalan-jalan, makan bersama, beli hadiah... Bahkan menjauhi kamu..."
Aku tahu. Semuanya aku tahu. Bahkan menunggunya di saat hujan dan ternyata dia sudah pulang duluan, juga termasuk kan?
"Tapi kenapa...... hiks... kenapa dia malah minta putus?"

Tangisannya semakin keras, dan tidak ada yang bisa kulakukan sekarang selain membiarkannya menangis. Sambil terus menepuk kepalanya, aku mendengarkan semua cerita. Yang aku sudah tahu, yang aku jauh lebih tahu daripada dia.

Aku tidak bisa apa-apa selain membiarkannya menangis. Aku tidak berhak berkata apa-apa. Aku takut ketika dia tahu, bahwa salah satu penyebab tangisnya hari ini adalah....

aku..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar