"Berperilakulah sebagaimana kamu ingin diperlakukan oleh orang lain,"
Kayanya kalimat itu yang cocok buat menggambarkan sebuah kejadian di klinik kemarin. Siang-siang sebelum pulang, tiba-tiba aku dipanggil buat ngebantuin korban kecelakaan. Pas dikabarin aku langsung panik (yang kecelakaan siapa yang panik siapa). Sibuk pilih-pilih alat yang kudu aku bawa. Perlu splint nggak ya, perlu jarum sama benang jahit nggak ya. Ah yaudah nanti aja, aku langsung cepet-cepet ke bawah buat bantuin dokter umumnya.
Alhamdulillah, dari intra oral ngga ada kelainan macem-macem. Cuma luka lecet di bibir bagian dalem. Benturannya pun juga ngga sampe berdampak ke giginya. Ngga ada yang goyang. Jadi aku cuma bersihin luka-lukanya aja. Sedangkan luka yang lumayan parah ada di dengkul kakinya. Sampai dijahit juga sama dokter umumnya.
Selama proses perawatan, si pasien ini cerita gimana dia bisa kecelakaan. Dari ceritanya, dia mengatakan kalau dia ini korban, dari sebuah mobil yang tiba-tiba motong jalan, "Kalau mobilnya ngga jalan, ngga mungkin kan aku sampai kaya gini," katanya berulang kali. Pasien ini cerita kalau emang dua duanya sama-sama salah, karena dia juga tiba-tiba muncul di sela mobil. Tapi dengan sepenuh hati, dia tetap bikin statement kalau pihak mobil kesalahannya lebih besar.
Karena ngga tau kejadiannya gimana, aku ngga bisa ngejudge dong siapa yang salah. Jadi aku sama dokter umumnya cuma bisa diem dan dengerin si pasien ini cerita. Setelah selesai dirawat, pasien diinstruksikan untuk foto rontgent di kakinya dan istirahat. Tapi ternyata, si pasien juga ada pekerjaan yang harus dikerjakan. Tiba-tiba ada laki-laki yang nyelutuk, "Minta ganti rugi aja mba kalo gitu.." sebagai ganti rugi dia ngga bisa kerja hari itu. Awalnya aku cuma diem aja, sampai akhirnya di mas-mas tadi bilang, "Wes mbak, entekno ae sekalian (maksudnya kalau minta ganti rugi jangan tanggung-tanggung, abisin aja sekalian tuh yang nabrak),"
Karena merasa ada yang ganjil, aku langsung nanya, "Masnya ini siapanya? Keluarganya?" Yang dijawab dengan gelengan kepala. "Bukan, dok. Saya tadi di depan ngeliat kejadiannya."
Ooh... ternyata warga sekitar yang kebetulan menyaksikan kejadiannya. Kupikir saudaranya, lah kok ikut sewot?
"Nanti pas jalan keluar dari ruangan, dipincang-pincangin aja mbak jalannya. Biat keliatan parah," tambahnya. Sambil menopang badan si pasien. Diluar ruang periksa udah nunggu bapak-bapak yang sepertinya adalah orang yang entah gimana ceritanya bisa nabrak si pasien tadi. Mengajak si pasien duduk di sebelahnya dan ngomongin soal kejadiannya. Yang bikin kaget adalah, selain bapak tadi, banyak juga orang-orang lain (yang aku yakin mereka juga warga setempat yang penasaran) ikutan nungguin di depan ruangan. Bahkan sampai duduk di tangga klinik, saking ramenya.
Kalau mau berpikir positif, mereka ini adalah tetangganya si mbak pasien yang kenal dan khawatir sama mbak pasien. Tapi waktu nulis alamat rumah si mbak pasien, alamatnya bukan di daerah klinik, agak jauh. Jadi kecil kemungkinan orang-orang ini kenal dengan si mbak pasien. Sampai agak lama, mereka berunding tentang kecelakaan tadi, untungnya berakhir damai.
Inti dari cerita ini adalah, jangan ngomporin urusan orang lain. Bukannya kalau ada masalah, yang bisa kita berikan ke orang lain adalah solusi masalah ya, bukan masalah baru? Dengan minta pertanggung jawaban yang berlebihan (kaya instruksi dari unknown mas-mas supaya 'ngabisin' si bapak), menurutku itu udah ngga bener. Coba kalau keadaannya dibalik, si bapak yang nabrak adalah ayah kandung dari mas-mas tadi, apa mas nya mau bapaknya 'diabisin' sama orang lain? Walaupun si bapak mungkin memang terbukti salah, tapi bukannya kita semua pernah salah ya?
Banyak tuh kejadian kaya gitu. Main hakim sendiri. Justru orang-orang yang ngga terlibat atau bahkan ngga tau permasalahannya sering banget jadi kompor sumbu pendek, tanpa berusaha mencari tau yang sebenernya gimana. Apalagi ketika pendapatnya ngga dibutuhkan. Apakah ngelihat perselisihan orang lain itu kebahagiaan tersendiri? Kok agak aneh ya.....
Banyak kan kejadian maling digebukin sampai mati, gara-gara banyak orang-orang yang ngga tau akar masalah ikut ngegebukin. Biar apa? :") pas malingnya meninggal, yauda ditinggal aja, dan dianggap "dia mencuri, pantas kok mendapatkan ganjarannya," padahal Allah kita aja maha pengampun....
Agak sedih aja sih ngelihat mindset yang suka ngomporin orang dan berujung merugikan diri sendiri dan orang lain. Berperilakulah seperti kamu ingin diperlakukan orang lain. Coba bayangin kalau itu kamu, keluargamu, atau orang-orang terdekatmu.
serem mbak
BalasHapus