another blogger

Rabu, 02 Februari 2011

They're

Awalnya yang ada dipikiranku cuma satu: orang tua memaksakan kehendak masa depan untuk anaknya
Kenapa? Karena rasanya yang kujalani selama ini hanyalah skenario buatan orang tuaku. Aku bersekolah di salah satu sekolah paling top di kota ini. Karena apa? Karena perintah orang tuaku. Aku masuk ke salah satu kelas top di sekolah ini. Karena apa? Karena perintah orang tuaku.

Kemudian aku memutar otak, seakan puzzle puzzle beterbangan di kepalaku. Aku melupakan beberapa potong memori, tapi tidak lama semuanya kembali muncul di otakku.

Ketika ujian nasional SMP, aku menangis karena takut hasilnya. Ayahku berkata, "Tidak apa-apa, kamu kan sudah berusaha," begitu pula dengan ibu yang langsung mengusap kepalaku, "Tenang aja, hasilnya pasti bagus,"
Yang aku lupakan: mereka mempercayaiku

Ketika aku bingung untuk mendaftar di sekolah SBI, ayahku berkata, "Semua terserah kamu. Kalau mau mencoba bagus, kalau tidak juga tidak apa-apa. Toh semua sekolah sama baiknya," dan ibuku, "Saran ibu coba saja, kalau keterima kan Alhamdulillah. Tapi semua kembali ke kamu. Kamu mau atau tidak?"
Yang aku lupakan: sebenarnya mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya padaku

Ketika aku batal mengirimkan karyaku yang tidak karuan ke salah satu lomba menulis, ayaku berkata, "Kenapa? kamu punya bakat. Tulisanmu bagus, pasti menang," ibuku, "Kamu selalu menyerah sebelum bertarung. Tulisanmu bagus,"
yang aku lupakan: mereka selalu mendukung hobiku, mendukung yang aku lakukan

Ketika penerimaan siswa baru di SMA, aku tidak bisa masuk sekolah favorit pilihanku dan orang tuaku. Ayahku berkata, "Mereka akan menyesal tidak menerimamu," dan ibuku, "Buat sekolah yang menerimamu bangga, karena mereka menerimamu di sekolahnya,"
yang aku lupakan: mereka tidak pernah marah ketika aku tidak berhasil

Dan sekarang, ketika sedang ribut masalah pemilihan jurusan untuk kuliah, ayahku berkata, "Kalau kamu memang mau di satu tempat, pilih saja, dan fokuskan kesana," dan ibuku, "Kalaupun tidak bisa diterima, kan masih ada jalur mandiri. Tidak usah kamu pikirkan uangnya. kan memang ibu sama bapak nabung buat pendidikanmu dan adikmu,"
yang aku lupakan; mereka memikirkan aku............ lebih dari apapun


Dan nanti, ketika aku sudah sukses, yang pertama kali aku lakukan adalah membawa mereka ke tanah suci




Surabaya, 2 Februari 2011







"Mbak? Kok nangis?" tanya ibu yang sedang duduk di sebelahku. Aku menoleh, astaga, aku lupa ini kan tempat umum. Aku segera mengambil tissue dan menyeka air mataku. Kami sedang berada di salah satu pusat perbelanjaan, dan membeli beberapa perlengkapan yang akan kami bawa besok.
"baca apa sih?" tanya ibu penasaran, aku menyembunyikan kertas itu. "Rahasia hehe," jawabku. Ibu masih terlihat penasaran.
"Paling juga surat dari pacarnya!" jawab adikku yang segera kubalas dengan sebuah jitakan di kepalanya.
"Hey jangan bertengkar disini," bapak menimpali.

Sekarang tahun 2016, 5 tahun yang lalu tepatnya aku menulis tulisan itu. Rasanya aku begitu terharu. Perjuanganku selama ini tidak sia-sia. Oh iya, untuk informasi, setahun yang lalu aku berhasil menerbitkan sebuah buku best seller. Naskah yang dulu batal kukirim, berkat dukungan bapak dan ibu akhirnya berhasil diterbitkan. Dan, aku senang sekali. Karena di sela-sela kesibukanku menggarap skripsi S1 di FKG Universitas Airlangga, aku juga bisa membagi waktu dengan menulis. Karena dengan royalti yang aku terima, kami ber-empat besok InsyaAllah akan menunaikan ibadah Haji

Tidak ada komentar:

Posting Komentar