another blogger

Sabtu, 02 September 2017

Coba katakan

Ketika kau sedang berada di dekatku, dan merasa sedih, berulang kali kukatakan, bahwa aku siap mendengarkan ceritamu seharian. Aku punya banyak waktu untuk menanggapi hal yang membuatmu bersedih. Aku bersedia menerima teriakanmu jika kamu memerlukannya untuk merasa lebih baik. Berulang kali kukatakan, bahwa aku ada untukmu. Namun yang kau lakukan hanya diam, menangis, dan terus berkata bahwa kau baik-baik saja.

Aku mulai menepuk pelan pundakmu, berusaha menemani sampai tangismu berhenti. Tidak lama, kamu menunjukkan seolah tidak perlu dihibur, mengatakan bahwa sebaiknya aku segera berangkat kuliah. Baiklah. Mungkin kau butuh waktu dan ruang untuk sendiri. Aku berjalan keluar ruangan, dan tidak lupa untuk memintamu menghubungiku jika butuh sesuatu. Secepat kilat aku akan datang.

Kau tidak berhenti menangis juga sore itu, ketika aku pulang dan membawa sekotak terang bulan keju favoritmu. Berbaring memeluk guling, aku bisa mendengar isak tangismu, yang air matamu entah sejak kapan mengalir deras disana. Tidak kah kau lelah? Sekali lagi kutanya, dan kau bersikeras bahwa kau baik-baik saja. Aku mengambil laptopku, mulai mengatur meja lipat, dan berpindah mengerjakan tugas disampingmu. Karena aku tidak tahu yang kau perlukan, mungkin cukup dengan aku menemanimu melewati sesuatu yang berat ini. Tidak lama, kau bangkit dari posisi berbaringmu, keluar dari ruangan, dan ternyata berpindah tempat ke ruang tv. Mulai menangis hingga suaranya terdengar sampai ke kamar. Oke, kau tak ingin aku menemani.

Aku mencoba tidak peduli dengan semua ini, dan berusaha bersikap biasa saja ketika makan malam di ruang yang sama denganmu. Berusaha tidak menghiraukan suara tangismu yang entah mengapa kedengarannya semakin kencang. Oke, aku sudah tidak tahan.

"Oke, ayo kita bicara. Ada apa denganmu? Menangis seharian seperti orang gila? Ada masalah apa? Kalau aku bisa bantu, tentu aku akan bantu kan seperti biasanya?"

"Aku baik-baik saja."

"Bagian mananya yang baik-baik saja kalau daritadi kau menangis tanpa sebab??"

"Tidak apa-apa. Aku baik-ba..."

"Kalau begitu jangan menangis di depanku! Jangan menunjukkan padaku kalau kau sedang bersedih! Untuk apa kau menangis di depanku, bahkan kau tidak membiarkanku membantumu! Untuk apaa???"

Teriakanku memecah suara tangis yang sedaritadi terdengar. Mungkin seharusnya ini yang daritadi kulakukan untuk membuatnya berhenti menangis.

"Inilah aku. Aku bukan orang yang akan menanyakan terus bagaimana keadaanmu, memaksamu untuk menceritakan apa masalahmu ketika kamu tidak mau membicarakannya. Aku bukan orang yang akan menempel padamu, menghiburmu dengan kata-kata manis disaat kau bahkan sedang tidak ingin ada aku didekatmu. Aku bukan orang yang seperti itu." Berusaha menekan intonasi dan volume suara, aku menarik napas panjang. "Aku bukan orang yang akan memelukmu kalau kau tidak ingin ditenangkan. Aku hanya akan ada disini, kapan pun kau butuh. Jadi tolong, kalau kau tidak perlu bantuanku, berhenti menangis di depanku, berhenti menunjukkan kesengsaraanmu di depanku. Karena kau tahu, itu sangat mengganggu."

Kau harus tau pandanganmu padaku saat itu, seakan aku adalah orang yang paling tidak ingin kau temui. Kau bergegas masuk ke kamarmu, membanting pintu hingga penghuni kos lainnya melongo dan menoleh, melemparkan pandangan penuh tanya ke arahku.

Aku tau aku keterlaluan, menambah beban pikiran masalahmu disaat seharusnya aku mendukungmu. Tapi, kau tahu ini aku, aku perlu kau bicara, aku perlu kau menceritakan padaku sehingga aku tahu bagaimana aku bisa membantu. Dengan berkata bahwa kau baik-baik saja disaat kau sebenarnya tidak baik-baik saja, itu malah mempersulit semuanya. Masalahmu tidak akan terselesaikan, dan aku akan membunuhmu dengan tatapan tajam seperti tadi, tatapan enyahlah dari pandanganku. Aku berjalan menuju kamarmu, mengetuk pelan, dan membisikkan, "Ceritakan padaku ketika kau sudah siap. Kau tahu kan, aku selalu disini."

***

Ini hari ke 4, setelah 3 hari sebelumnya kau bahkan tidak mau bertatapan mata denganku. Kau lebih memilih mengurung diri di kamar, tidak keluar untuk makan, tidak berangkat kuliah, dan kita hanya berpapasan ketika kau pergi ke kamar mandi tengah malam. Aku tidak masalah dan tidak peduli. Karena mungkin kali ini, kau tidak butuh aku untuk menyelesaikan masalahmu. Sungguh, aku tidak mempermasalahkannya. Tapi, hei, aku peduli..

"Tok..tok.." pintu kamarku diketuk pelan. Tidak butuh jawabanku, pintu tersebut membuka perlahan, dan bisa kulihat ujung rambutmu menjuntai disana. Kau mengintip dari balik pintu itu, dengan wajah sembab, tidak karuan.

"Aku sudah siap. Maukah kau mendengar?"

Tidak butuh jawaban bukan?
Aku tersenyum dan segera mempersilahkannya masuk. Kau duduk tepat disampingku, dengan tangan terlipat yang masih gemetar. Air mata mulai menetes lagi dari matamu, aku segera meraih tanganmu, menggenggamnya.

"Aku selalu siap mendengarkan ceritamu, ketika kamu siap bercerita." Kataku sembari memberinya waktu untuk mempersiapkan. Dia tersenyum. Menghela nafas panjang, dan mulai bercerita.

***

Ketika kau memiliki masalah, sebesar apapun itu, tentu kau akan membutuhkan seseorang untuk membantumu, menemanimu. Kau menangis didepan seseorang, karena berharap orang itu akan membantu, bukan? Cukup ceritakan saja bagian yang ingin kau ceritakan, lepaskan semua perasaan sedihmu. Baik teman, orangtua, dan Allah tentu saja, akan siap mendengar dan membantu. Kau hanya perlu meminta bantuan. Karena bagaimanapun, beban akan lebih ringan jika dipikul bersama, dan bagaimana orang lain tahu kau butuh bantuan jika tidak mengatakannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar