another blogger

Selasa, 10 Oktober 2017

Dear My Present Self

Beberapa hari yang lalu, aku sempat ngobrol di multichat dengan teman-teman semasa sekolah yang sekarang udah pada kerja. Walaupun hitungannya duluan aku masuk kuliahnya, ternyata mereka lulus lebih cepat daripada aku 😂😂 ikut senang ngeliat teman-teman yang pada udah jauh di depan. Walaupun agak kecil hati, lihat diri sendiri yang gini-gini aja.

Dari beberapa teman, ada yang cerita, sebenarnya pekerjaan yang dia tekuni sekarang adalah bukan passion nya. Kalo bisa, dia pengen banget ngejar hal-hal yang dia suka. Ada juga yang wirausaha, atau istilah keren nya sekarang memulai 'start-up', punya bisnis sendiri yang bener-bener dari 0 banget dia mulai. Jatuh bangun karena sempat ngga ada pemasukan sama sekali, dan dia ngga berminat jadi pekerja kantoran.

Teman-teman pada iri katanya, sama aku, yang begitu lulus kuliah otomatis akan ngejalanin profesi yang sesuai dengan apa yang ditekuni. Sekolah kedokteran gigi, ya kerjanya jadi dokter gigi. Dari awal memang sudah ditetapkan begitu. Sementara teman-teman banyak yang bekerja ngga sesuai dengan jurusan yang dia ambil semasa kuliah. Padahal mereka ngga tau aja gimana beratnya perjuangan sampai di 'profesi yang sesuai dengan apa yang ditekuni' tadi. Sampai rasanya pengen berhenti aja.

Yang tadinya aku berkecil hati karena teman-teman yang udah begitu jauh ninggalin aku, jadi ngerasa apa yang mereka punya sedangkan aku engga? Apa yang mereka dapatkan sementara aku engga?

Kami sama-sama sedang berusaha di jalan masing-masing. Soal siapa yang sudah settle duluan itu ngga penting. Banyak juga yang setelah lulus, sempat jadi pengangguran, mencari-cari apa yang bisa atau akan mereka kerjakan nantinya. Sedangkan aku, dari awal aku sudah dikasih jalan untuk menekuni apa yang jadi pilihanku sejak awal. Seusai lulus jadi dokter gigi pun, aku ngga sepenuhnya menganggur (dimana teman-teman masih eksplorasi akan kemana selanjutnya), ada banyak jalan terbuka, aku hanya baru di titik 'start' nya, sedangkan teman-teman yang lain suah setengah perjalanan. Mereka pun telah melewati titik 'start' itu, dengan awal yang ngga jauh berbeda. Aku punya support lebih, dengan keadaan keluarga yang mendukung. Tempat praktek udah ada, dan kalo aku masih disini-sini aja, itu salahku sendiri, karena memilih ngga bergerak.

Salah seorang kenalan pernah nanya, "Apa pencapaian terbesarku?" Dan dengan bangga nya aku bilang, "Masuk FKG. Itu effort ku yang paling besar.." dan komentarnya agak menyakitkan hati banget.

"Kamu ngerasa pantas kan dapat FKG, karena sebanding dengan apa yang kamu perjuangkan. Kamu berusaha, kamu dapet yang kamu mau. Rumusnya sih usaha berbanding lurus dengan hasil. Tapi cuma sekedar itu kan? Usaha. Padahal kamu ada di keluarga yang terbilang 'mampu', belajar buat ujian juga di ruangan kamar yang nyaman, makan tersedia, ikut les-lesan yang mahal demi tembus PTN favorit. Seharusnya kan rumus hidupnya jadi usaha ++++ = hasil ++++. Tapi sepertinya, hasilnya hanya hasil ya. Bukan hasil +++? Gimana kalau kamu dibebani belajar untuk ujian, sambil bekerja mencari uang untuk biaya daftar ujian? Atau bahkan untuk biaya makan nanti sore. Ngga ikut bimbel karena penghematan. Dengan faktor tambahan mu yang begitu banyak, aku rasa masuk FKG bukan pencapaian terbesarmu."

Ini terpelatuque banget sih. Beberapa harian gitu aku agak gondok sama temanku ini. Dan aku jadi kesal, karena apa yang dia bilang benar. Aku ngerasa kesal karena omongannya tepat sasaran. Walaupun ngga suka karena dia judging, tapi kalimat dia berhasil jadi salah satu pedoman hidup, bahwa giving our effort itu ngga cukup. Kita harus giving our best. The best of us. Makanya aku bilang, kalau kita punya faktor +++ tadi dan masih disini-sini aja, itu adalah salah kita sendiri....

"Rara kan dari dulu emang pengen jadi dokter kan? Alhamdulillah sekarang bisa jadi dokter.." kata temanku yang sebelumnya kuceritakan, tentang pekerjaan yang ngga sesuai passion nya. Dia bukannya ngga bersyukur, tapi tenryata dia hanya memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada, untuk nantinya bisa bekerja sesuai dengan yang dia inginkan. Pekerjaan yang sekarang hanya batu loncatan, salah satu misi dalam mencapai visi nya. Dia masih berada di titik yang sama denganku katanya.

Begitupula temanku, si pionir start-up. Berbulan-bulan dengan ketidakpastian kelanjutan bisnis nya, tapi dia ngga pernah menyerah karena bersikeras ngga minat jadi bawahan orang. "Bukan masalah gengsi sih kerja kantoran tuh. Kalo mereka awalnya juga bisa memulai, kenapa aku engga." Ceritaku hari ini kesannya kaya dibuat-buat ya, banyak kalimat-kalimat motivasi dangdut, tapi itu sungguhan. Benar-benar sore berfaedah. Tukar cerita sama orang-orang kaya gini ini yang bikin semangat.

Intinya, semua punya jam yang terus berputar sendiri-sendiri. Kita kaya bergerak di zona waktu yang berbeda. Semua punya waktunya sendiri-sendiri. Bedanya adalah, siapa yang memanfaatkan dan memahami waktunya lebih baik dari yang lain. Apa artinya kita percaya kalo sekarang "bukan waktu kita", terus hanya berdiam diri di sudut ruangan, menatap iri pada teman-teman yang sudah di puncak, dengan penyangkalan,"Memang ini 'waktu' mereka.". Kalau kamu hanya berdiri saja di sudut sana, kapan kamu akan sampai pada 'waktu' mu? Karena kaya cewe yang kamu taksir, gimana bisa dekat, kalau ngga mengejar? Kalau ngga mendekatkan diri? Padahal dia juga bergerak.

Ngga usah minder kalau teman-temanmu banyak yang udah jadi 'orang' sekarang. Cukup fokus pada diri sendiri, tau apa yang mau dan akan kamu lakukan, be the best at it, or giving it your very best. Belum maksimal usahamu, kalau belum mencoba semua kemungkinan yang ada. Ngga perlu iri juga dengan mereka yang sudah jauh. Ingat saja mereka ngga akan berhenti dan menunggu, tapi mereka akan selalu siap menarikmu untuk maju bersama. Karena, yang bisa membawamu maju, terpenting adalah dirimu sendiri. Disertai doa orang tua dan kehendak Allah. Dan lagi, rumput tetangga emang selalu keliatan lebih hijau kan? 😂😂

"Padahal dia belum pernah mencoba, tapi dia ngga ragu-ragu buat memulai. Menurutmu apa yang bikin dia percaya diri bisa melakukan?"
"Karena dia udah belajar sebelumnya?"
"Yang paling sederhana..."
"Karena dia berdoa? Percaya diri?"
"Bukan. Yang paling sederhana adalah, karena orang lain (sebelumnya) bisa melakukannya, maka dia juga bisa."
- drg. Roberto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar