another blogger

Kamis, 11 Januari 2018

#satukatajadisatukarya

Mabuk.

Dengan mengenakan setelan mahal -yang jika ditebak harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga sebuah ponsel-, Ado berjalan dengan dagu terangkat ke atas. Sorot matanya tajam, seakan siap beradu pandang dengan orang-orang yang lewat. Rambutnya klimis tersisir rapih, menggunakan gel rambut dengan aroma mint. Jam tangan seven thursday melingkar di pergelangannya. Konon, hanya dia pemilik jam itu di blok rumahnya. Atau bahkan di kampungnya. Tidak salah jika harganya selangit, karena menurut Ado, tingkat ketampanan seorang pria akan meningkat berjuta kali lipat ketika mengenakannya. Dengan hati-hati ia mengayunkan tangannya, sambil sesekali mengusap jam mahalnya. Semua mata yang memandang, seolah takjub dengan toko barang mewah berjalan ini. Bukan pemandangan yang langka, Ado berjalan-jalan dengan semua harta nya hanya untuk menyapa tetangga.

Jalanan depan kampung Ado tampak banyak yang berlubang, rusak akibat hujan lebat semalam. Genangan air terbentuk dimana-mana. Tidak ada pilihan jalan lain selain melewati genangan-genangan itu, apa boleh buat, karena mobil Ado tidak bisa masuk ke jalan yang sempit di kampung Ado.

Ado berusaha menghindari genangan air di depannya. Dengan sigap dan mantap ia melompati genangan itu. Hap. Terdengar suara percikan air yang cukup keras. Ado rupanya mendarat di genangan air yang lain. Sepatu Fans yang disukainya itu kini basah dan penuh cipratan tanah.

"Maaaak! Sepatu Ado kotor!" Teriaknya memanggil sang ibu. Wanita paruh baya berperawakan tinggi besar muncul dari balik pintu rumah, menghampiri putranya yang sedang kesulitan.
Tiba-tiba, sebuah telapak tangan melayang ke arah pipi Ado.

"Naak.. kowe mabuk tah?"
Seketika Ado terbangun dari tidur singkatnya. Ibunya masih menepuk pundaknya pelan, berusaha menyadarkan anaknya yang sedari tadi mengigau, meracau tak karuan.
"Mimpi opo to, Le?"
"Ah ibu. Harusnya Ado jangan dibangunkan dulu. Ado masih ingin menikmati rasanya jadi orang kaya, punya baju bagus!"

Ibunya tersenyum.
Bocah 8 tahun itu kembali melanjutkan tidurnya di pinggir trotoar Jalan Pemuda, beralaskan koran lusuh, sambil menemani ibunya berjualan kue jipang yang sudah sejak pagi belum laku. Tangannya yang kurus dan tidak halus mulai mengusap rambut Ado yang keriting, kering. Kadang menepuknya, memastikan si anak tertidur dengan pulas.

Sementara ini, ibunya hanya bisa memberikan kepada Ado hadiah tidur nyenyak dan mimpi indah.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar