Jam menunjukkan pukul 2 siang, dan aku masih duduk santai di lorong. Aku ngga terburu-buru, atau dikejar waktu. Hanya mengingatkan saja kalau sekarang sudah pukul 2, yang artinya, 30 menit lagi aku harus menghadiri suatu acara penting. Walaupun bintang acara tersebut bukan aku, tapi tetap saja penting untukku. Setidaknya, setelah acara tersebut, aku bisa memutuskan bagaimana akan melanjutkan hidup.
Langit siang (menuju sore) itu agak mendung, ngga tampak terik seperti biasanya. Bukankah harusnya ini yang ditunggu semua orang? Suasana sejuk di kota yang sehari-hari nya panas menyengat kepalaku. Tapi tentu bukan hari ini, kalau kau punya acara besar. Aku melirik ke arah jam tangan, jam dua lewat satu menit. Oh, waktu memang berjalan sangat lambat untuk momen yang ngga menyenangkan seperti sekarang.
Secara ngga sengaja, aku menjatuhkan corsage yang sudah terpasang di jasku. Bunganya terlepas dari pin. Aku mencoba memperbaiki benda kecil ini, menyangkutkan bunga di tengah-tengah pin, bahkan menusuk batangnya agar mau menancap.
"Hei.. hei bukan gitu caranya." Mira datang dan meraih corsage itu. "Kamu tuh kasar banget ya sampai lepas gini bunga nya."
Dalam waktu satu menit, duniaku berhenti, dan mataku terus memandang sosok perempuan yang dengan tatapan seriusnya memperbaiki benda tolol yang aku bahkan baru tahu kalau itu disebut 'corsage'. Padahal, bisa saja aku meminta corsage yang baru, atau setidaknya Mira membantuku meminta yang baru, bukan memperbaikinya.
Aku tahu dia memang seperti itu. Selalu bersemangat dan ngga mudah menyerah. Bahkan saat sedang memperbaiki corsage ku, dia masih sempat menceritakan candaannya yang seperti biasa ngga lucu, tapi selalu kutunggu. Dia masih sempat bercerita bagaimana tersiksanya dia dengan bulu mata sepanjang 15 centimeter -ini caranya menyebut bulu mata yang sangat panjang hingga kadang menusuk sendiri ke matanya-, bagaimana wajahnya terasa kaku karena ada beberapa lapis bedak, bagaimana dia menahan air mata yang keluar saat eyeliner diaplikasikan ke matanya berulang kali, hanya untuk acara hari ini. Tapi bagaimanapun dia menceritakan penderitaannya hari ini, aku bisa melihat bahagia di mata dan wajahnya. Senyum yang terus mengambang sejak pagi, serta tatapan mata yang tegas. Seperti yang selalu kusukai darinya.
"Yak. Selesai!" Dia membantuku memasangkan corsage itu di jas hitam kebanggaanku. Yang baru kupakai sekali saat wisuda. Mungkin dua, ketika prom night SMA, yang pada akhirnya aku ngga jadi datang karena diare. Aku masih ingat, Mira datang ke rumah keesokan harinya, membawakan banyak minuman isotonik agar aku ngga dehidrasi katanya, setelah diare tadi malam. Kami saling mengenal sejak lama. Mengisi kehidupan satu sama lain. Dia bahkan tau tiap detail pasien yang aku hadapi selama masa dokter muda. Aku selalu membawakannya makanan ketika dia jaga, begitu pula sebaliknya. Kami seperti dua orang yang ngga terpisahkan.
"Yuk, kamu ngga masuk ke dalam? Kok nunggu disini?" Aku menggeleng.
"Duluan aja. Aku mau..." sambil mengkode dengan kedua jariku di depan mulut. Kemudian ekspresi wajahnya berubah heran.
"Nggak usah sok sok gitu deh. Sejak kapan kamu merokok?" Dia tertawa sambil menyenggol pundakku, "Orang pakai inhealer aja kamu batuk-batuk. Inhealer lhooo. Inhealer..."
Percakapan seperti ini yang setiap hari selalu kusukai saat berada bersamanya. Di depannya, aku ngga perlu berpura-pura jadi orang lain. Aku ngga perlu dan ngga pernah canggung. Nyaman kurasa? Dan seperti biasa, rasa nyaman itu memang mengerikan.
"Beneran, Mir, duluan aja. Kamu ditungguin banyak orang tuh.." aku membantunya berdiri karena dia tampak begitu kesusahan. Gaun panjang yang membalut badannya tampak ribet dan.... apa ya bilangnya? Tampak ngga nyaman dikenakan?
"Oke deh aku kesana ya. 15 menit lagi kayanya mau dimulai. Ketemu di dalam yaa." Dia berjalan pelan menuju ruangan di seberang. Ngga hanya gaun, tampaknya sepatu hak tinggi yang dia kenakan juga tampak ngga nyaman. Aku tau bahwa dia bukanlah perempuan yang mengenakan sepatu hak dan baju-baju imut. Di ingatanku, dia adalah perempuan super ngga modis, yang sehari-hari mengenakan kaos, jeans, dan flat shoes. Walau begitu dia tetap mengenakannya untuk hari ini. Aku melambaikan tangan.
"Mira.." dia menoleh, masih dengan senyum itu. "Good luck ya. Kamu cantik hari ini..."
...dan hari-hari lainnya, seperti biasa.
Dia mengacungkan jempolnya. Kemudian melanjutkan jalan lambatnya menuju ruangan itu. Saat pintu dibuka, tampak banyak orang yang membantu Mira berjalan, dengan tatapan terpesona akan kecantikannya. Pujian demi pujian terdengar hingga ke telingaku. Memang, dia cantik sekali.
Jam sudah menunjukkan pukul 2.30, aku masih belum beranjak untuk bergabung dengan yang lain. Padahal seharusnya, aku ada disana. Menyaksikan perempuan.. tidak, wanita, yang selama 7 tahun ini kucintai akan menjadi bagian dari hidupku. Badanku terasa kaku. Tidak bergerak. Apa aku bisa menghadapi semua ini?
Ngga ada alasan untukku ngga berbahagia hari ini. Dan akhirnya akupun berani melangkahkan kaki masuk ke ruangan itu. Lantunan lagu-lagu romansa terdengar begitu aku membuka ruangan.
"Mari kita sambut mempelai wanita dan mempelai pria. Silahkan maju ke depan." Erik, sahabatku, memandu jalannya acara. Mempersilahkan mempelai untuk maju ke depan.
Dari ujung ruangan, aku melihat Mira, dengan tiara di atas kepalanya, berjalan dengan anggun. Jantungku berdebar, seperti mau copot dibuatnya. Senyumnya masih sama, dan kini disertai mata yang berkaca-kaca, menahan air mata bahagia. Daridulu dia selalu bercerita, ingin mengenakan tiara di kepala saat menikah. Dan hari ini, dia benar-benar mendapatkannya.
Mira melingkarkan tangannya pada Edo, dan jalan ke depan, menyita perhatian para tamu undangan. Mereka berdua berjalan melewatiku, yang sudah menunggu di depan. Mira tersenyum padaku, wajahnya memerah. Tangan kirinya meraih tanganku. Bisa kurasakan genggaman yang erat pada lenganku. Aku membalas senyumnya.
"Semoga bahagia ya, Mira si kakak ipar.."
Air matanya menetes mendengar kalimatku barusan. Dia membalasnya setelah menarik napas panjang. "Mohon bantuannya ya, Dio si adik ipar.." sambil tertawa kecil.
Aku melepas genggamannya, kemudian ia melanjutkan jalannya. Tentu saja didampingi Edo, kakak laki-lakiku. Mereka tampak bahagia di depan.
Hatiku hancur hari itu. Tapi aku sama sekali ngga menyesal.